Sabtu, 30 Juli 2016

TOPONIMI POS PENDAKIAN GUNUNG SLAMET JALUR BAMBANGAN. SAMARANTU, BUKAN SEKEDAR SAMAR-HANTU (catatan summiter dari lapangan)

TOPONIMI POS PENDAKIAN GUNUNG SLAMET JALUR BAMBANGAN. SAMARANTU, BUKAN SEKEDAR SAMAR-HANTU
(catatan summiter dari lapangan)

 
Pemandangan dari Base Camp Dusun Bambangan menjelang matahari terbit

Kami sangat bersyukur bahwa pada tahun 2016 ini MPA Mahameru akhirnya benar-benar sukses merealisasikan program scientific expedition melalui TAJSEM 2016. Merupakan suatu kebanggaan dapat terlibat dalam project ini sebagai summiter. Banyak sekali pelajaran yang kami peroleh melalui scientific expedition. Kami dapat menggali banyak informasi mengenai kondisi fisik gunung yang kami datangi serta melakukan wawancara dengan masyarakat setempat untuk menghimpun informasi-informasi berharga seputar gunung dan pendakiannya. Walaupun disisi lain program ini membawa konsekuensi pada jadwal ekspedisi yang menjadi lebih panjang, namun secara umum cukup menyenangkan bagi kami untuk menggali banyak informasi bersamaan dengan kegiatan pendakian. Kami sadar, tidak semua orang memperoleh kesempatan yang sama dengan kami.
Pada saat melakukan pendakian Gunung Slamet pada tanggal 13-17 Mei 2016, kami melakukan wawancara dengan masyarakat dan memperoleh keterangan menarik tentang toponimi pos-pos pendakian di Gunung Slamet. Berikut adalah informasi yang ingin kami bagi dengan pembaca sekalian.


Sebagaimana telah kita ketahui, ekspedisi Triarga Jawadwipa adalah suatu rangkaian ekspedisi di tiga puncak Pulau Jawa yang mewakili tiga wilayah geomorfologi, yaitu Puncak Ciremai (3078 mdpl) sebagai puncak tertinggi Jawa Barat, Puncak Slamet (3428 mdpl) di Jawa Tengah, dan Puncak Semeru (3676 mdpl) di Jawa Timur. 
Baca Grand Design Ekspedisi TAJSEM 2016 :        Konsep,              Target,               Metode



Dalam ekspedisi ini para summiter dengan dukungan supporting team lapangan bertugas untuk melakukan survei aspek fisik berupa biogeomorfologi, serta menemukenali berbagai kearifan lokal pada masyarakat setempat khususnya dalam pengelolaan lingkungan. Selain itu karena daerah observasi merupakan daerah vulkan yang aktif maka aspek kebencanaan juga dimasukkan sebagai aspek yang harus diamati oleh summiter di lapangan. Bahkan hingga saat ini, tim summiter masih melaksanakan penelitian mengenai modal sosial dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Slamet. Apabila penelitian tersebut telah selesai, artikel yang memuat hasil penelitian tersebut akan segera dipublikasikan.
Gunung Slamet merupakan target pertama dalam rangkaian ekspedisi triarga ini. Pendakian ke puncak Gunung Slamet dilakukan melalui Jalur Bambangan, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya, tim yang bertugas pada aspek cultural melakukan observasi dan wawancara di sekitar basecamp Dusun Bambangan sebelum dan sesudah pendakian. Dalam proses wawancara, tim berhasil memperoleh temuan menarik kaitannya dengan tema ekspedisi, yaitu tentang toponimi (asal-usul pemberian nama) pos-pos pendakian yang ada di Jalur Bambangan. Temuan-temuan tersebut didapatkan tim dari beberapa narasumber key person yang merupakan sesepuh desa dan salah seorang juru kunci Gunung Slamet.
Jalur Pendakian Bambangan memiliki 9 pos yang mempunyai nama-nama tersendiri seperti pada umumnya pos-pos pendakian lainnya. Secara berurutan pos-pos tersebut adalah Pos Pondok Gembirung, Pos Pondok Walang, Pos Pondok Cemara, Pos Samarantu, Pos Samyang Rangkah, Pos Samyang Jampang, Pos Samyang Kendit, dan Pos Plawangan.
Berdasarkan hasil wawancara tim dengan narasumber, diketahui bahwa nama-nama pos tersebut diambil dari nama tumbuhan yang mendominasi wilayah sekitar pos dan sepanjang jalur pendakian menuju pos tersebut. Pos pendakian terbawah adalah pos Gembirung dan Pos Walang. Daerah tersebut memiliki ketinggian wilayah sekitar 1935 mdpl dengan banyak pohon-pohon pendek dan padang rumput di kanan dan kiri jalur pendakian. Menurut bahasa lokal setempat, daerah dengan karakteristik vegetasi demikian merupakan gembirung dan walang, yang dapat diterjemahkan sebagai ilalang atau belalang dalam bahasa jawa. Selanjutnya adalah pos Pondok Cemara yang dikaitkan dengan jenis pohon cemara atau pinus.
Mendaki ke atas dari Pos Pondok Cemara selanjutnya pendaki akan tiba di Pos Samarantu. Berdasarkan hasil wawancara, asal mula nama samarantu berasal dari nama tumbuhan samarantu, yang menurut masyarakat lokal Dusun Bambangan adalah nama lain dari pohon dengan ciri bentuk pohonnya pendek dan memiliki batang kecil. Dalam observasi lapangan di sekitar Pos Samarantu, kami menjumpai pohon dengan ciri-ciri seperti yang disampaikan oleh narasumber, yaitu bentuk pohon rendah dan berbatang kecil hingga sedang seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini.

Keluar dari wilayah hutan mendekati wilayah puncak, terdapat Pos Samyang Jampang. Nama Jampang menurut penjelasan ciri-cirinya diduga kuat merupakan nama lain dari Pohon Cantigi (Vaccinium varingiaefolium). Tanaman pionir ini (baca : tumbuhan pionir di kepundan gunung ciremai) dapat di temui di seluruh pulau Jawa pada ketinggian antara 1500-3300 mdpl (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1965), memiliki daun yang tebal dan kecil-kecil, dengan warna hijau, merah dan ungu, serta batangnya merah kecokelatan. Buahnya berwarna hitam dan berbentuk bulat seperti beri. Pohonnya tumbuh berupa pohon kecil atau semak bercabang-cabang dengan satu batang. Bunganya seperti bunga anggrek berwarna meran dan ukuran bunga cantigi yang ada di pegunungan lebih besar dibandingkan bunga cantigi yang ada di pantai. Pada pos Samyang Jampang mulai banyak ditemukan vegetasi cantigi.
Diantara nama-nama pos yang terdapat pada Jalur Pendakian Bambangan, Pos Samarantu termasuk yang paling terkenal di kalangan pendaki. Hal ini tidak lepas dari banyaknya keterangan yang mengkaitkan nama samarantu dengan kata “Samar” dan “Antu/Hantu” atau “Samar-samar Berhantu”. Ada pula yang menyebut “hantu yang samar-samar”. Keterangan ini cukup populer di kalangan pendaki apalagi Gunung Slamet termasuk gunung yang banyak dikaitkan dengan berbagai cerita mistis. Keterangan ini sangat mungkin berkaitan dengan berkembangnya isu mistis, selain itu dapat pula anggapan mengenai samar-hantu yang diberikan para pendaki tersebut dikarenakan pada pos ini banyak pendaki mengalami hypothermia dan penyakit ketinggian (AMS), demikian menurut keterangan tim SAR yang bertugas di Pos Pendakian Bambangan.
Tim TAJSEM saat memperoleh keterangan dari anggota SAR Purbalingga yang bertugas di base camp bambangan
Berdasarkan pengamatan aspek fisik yang dilakukan oleh tim di lapangan, pohon-pohon pada pos samarantu memiliki kanopi yang mulai terbuka, tidak seperti pada  pos-pos sebelumnya yang memiliki kanopi tertutup dan rapat dengan pepohonan yang besar. Kemudian lokasi pos tersebut terletak pada posisi igir pegunungan, sehingga angin yang bertiup pada pos tersebut khususnya pada malam hari langsung mengenai tempat-tempat mendirikan tenda tanpa terhalang oleh kanopi dan pepohonan besar. Diduga inilah alasan mengapa pada pos tersebut sering terdapat pendaki yang mengalami kecelakaan dalam pendakian baik mengalami hypothermia, AMS, dan lainnya.
Informasi mengenai nama-nama vegetasi yang digunakan sebagai nama pos di Jalur Pendakian Bambangan ini cukup menarik, apalagi tim ekspedisi TAJSEM juga bertugas mengamati kondisi vegetasi. Dalam konsep yang telah kami pelajari persebaran jenis tumbuhan tertentu sangat ditentukan oleh iklim (suhu dan curah hujan) yang berkaitan dengan ketinggian suatu daerah, bahan induk tanah, serta tingkat perkembangan tanah. Berdasarkan konsep tersebut, perbedaan ketinggian akan mempengaruhi variasi vegetasi baik jenis maupun ukurannya dengan gejala semakin ke atas vegetasi yang dijumpai semakin kecil.




0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 TAJSEM 2016 | Designed With By Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates
Scroll To Top