Selasa, 02 Agustus 2016

ELFIN KERUCUT VULKAN DI SAMYANG JAMPANG DAN SANGHYANG ROPOH




Pengibaran bendera TAJSEM 2016 oleh empat orang summiter di Puncak Gunung Ciremai pada pagi hari tanggal 17 Juli 2016 menjadi tanda tercapainya target kedua dari rangkaian puncak dalam ekspedisi triarga. Tidak terasa ekspedisi ini telah melewati separuh perjalanan.


Telah banyak informasi yang berhasil dihimpun dalam konteks scientific expedition, dalam hal ini mengenai Gunung Slamet dan Gunung Ciremai, baik kondisi fisik bentanglahannya maupun sosial budaya masyarakatnya.
Dalam perjalanan mendaki menuju puncak di Gunung Slamet dan Ciremai, tim melewati berbagai bentuklahan mulai dari dataran kaki vulkan, kaki vulkan, lereng vulkan, kerucut vulkan, dan kepundan. Kedua gunung bertetangga ini kebetulan memiliki morfologi yang relatif sama sebagai vulkan komposit dengan kerucut sempurna, serta bibir kawah sebagai puncak pendakiannya. Dengan karakteristik iklim yang juga relatif sama, kedua gunung ini memiliki kemiripan dalam hal distribusi vegetasinya yaitu didominasi oleh hutan hujan tropis yang lebat dengan batang pohon besar berlumut, kanopi tinggi, kerapatan vegetasi tinggi, hingga mencapai ketinggian 2500 mdpal. Hutan elfin berkembang setempat-setempat di atas elevasi itu, pada lereng yang semakin terjal tersusun dari endapan lava dan tefra jatuhan pada kerucut gunungapi tepat di bawah kepundan.
Hutan elfin, sebagaimana dijelaskan oleh Van Steenis (2010) adalah formasi hutan primer di atas elevasi 2000 mdpal. Struktunya dicirikan oleh sebuah kanopi rendah yang terdiri atas pohon-pohon yang tumbuh rapat dengan batang yang sering bengkok. Daun-daunnya kecil dan tebal, merupakan hutan campuran dengan tinggi 8-20 meter. Dalam kondisi tidak terganggu tipe hutan elfin akan menyelimuti pegunungan mulai dari 2000 mdpal hingga ke puncaknya jika vulkanisme atau kebakaran tidak mengganggunya. Pohon-pohon di hutan pegunungan tinggi selalu berlumut. Pertumbuhan lumut sebanyak ini jarang terjadi dalam hutan tinggi tetapi kebanyakan dijumpai dalam hutan elfin sehingga sering disebut juga hutan lumut. Secara fisiognomi kesannya menakutkan, dan kelangkaan bunyi-bunyian selain bunyi burung yang tidak terlalu sering terdengar menambah kesan seramnya.
Di Gunung Slamet dan Gunung Ciremai, hutan elfin dijumpai hingga bentuklahan kerucut vulkan yang berbatasan dengan lereng vulkan. Hutan elfin tidak berkembang dengan baik pada kepundan, bahkan di Gunung Slamet sebagian kerucut vulkan tidak bervegetasi karena pengaruh vulkanisme aktif. Salah satu wilayah hutan elfin di Gunung Slamet adalah pos Samyang Jampang dengan dominasi vegetasi cantigi, adapun di Gunung Ciremai hutan elfin pada kerucut vulkan berkembang di wilayah pos Sanghyang Ropoh di luar perbatasan hutan tinggi kawasan Pasanggrahan.

Hutan elfin pada bentuklahan kerucut vulkan di Gunung Slamet dan Ciremai tidak berkembang baik, seperti misalnya dibandingkan dengan Gunung Pangrango yang memiliki hutan elfin hingga puncak berketinggian 3000 mdpal. Hutan elfin hanya berkembang setempat-setempat. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik Gunung Slamet dan Ciremai sebagai vulkan aktif. Aktivitas vulkanik yang masih terus berlangsung berpengaruh terhadap terhambatnya perkembangan hutan elfin.
Kemiringan lereng terjal juga menyebabkan tingkat erosi tinggi. banyaknya erosi mengurangi kandungan unsur hara dalam tanah. Akibatnya tanah menjadi miskin sehingga tidak dapat mendukung perkembangan hutan elfin dengan baik. Mengenai hal ini Van Steenis (2010) juga mengungkapkan dalam bukunya. Dibandingkan dengan Gunung Slamet, distribusi hutan elfin yang terdapat di Gunung Ciremai lebih luas hingga mencapai kepundan, walaupun hanya sebagai vegetasi berukuran kerdil. Hal ini disebabkan oleh aktivitas vulkanik di Gunung Slamet yang lebih intensif dan berlangsung hingga saat ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 TAJSEM 2016 | Designed With By Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates
Scroll To Top