Pengibaran bendera TAJSEM 2016
oleh empat orang summiter di Puncak Gunung Ciremai pada pagi hari tanggal 17
Juli 2016 menjadi tanda tercapainya target kedua dari rangkaian puncak dalam
ekspedisi triarga. Tidak terasa ekspedisi ini telah melewati separuh perjalanan.
Telah banyak informasi yang berhasil dihimpun dalam konteks scientific expedition, dalam hal ini mengenai Gunung Slamet dan Gunung Ciremai, baik kondisi fisik bentanglahannya maupun sosial budaya masyarakatnya.
Dalam perjalanan mendaki menuju
puncak di Gunung Slamet dan Ciremai, tim melewati berbagai bentuklahan mulai
dari dataran kaki vulkan, kaki vulkan, lereng vulkan, kerucut vulkan, dan
kepundan. Kedua gunung bertetangga ini kebetulan memiliki morfologi yang
relatif sama sebagai vulkan komposit dengan kerucut sempurna, serta bibir kawah
sebagai puncak pendakiannya. Dengan karakteristik iklim yang juga relatif sama,
kedua gunung ini memiliki kemiripan dalam hal distribusi vegetasinya yaitu
didominasi oleh hutan hujan tropis yang lebat dengan batang pohon besar
berlumut, kanopi tinggi, kerapatan vegetasi tinggi, hingga mencapai ketinggian 2500
mdpal. Hutan elfin berkembang setempat-setempat di atas elevasi itu, pada
lereng yang semakin terjal tersusun dari endapan lava dan tefra jatuhan pada
kerucut gunungapi tepat di bawah kepundan.
Hutan elfin, sebagaimana
dijelaskan oleh Van Steenis (2010) adalah formasi hutan primer di atas elevasi
2000 mdpal. Struktunya dicirikan oleh sebuah kanopi rendah yang terdiri atas
pohon-pohon yang tumbuh rapat dengan batang yang sering bengkok. Daun-daunnya
kecil dan tebal, merupakan hutan campuran dengan tinggi 8-20 meter. Dalam
kondisi tidak terganggu tipe hutan elfin akan menyelimuti pegunungan mulai dari
2000 mdpal hingga ke puncaknya jika vulkanisme atau kebakaran tidak
mengganggunya. Pohon-pohon di hutan pegunungan tinggi selalu berlumut.
Pertumbuhan lumut sebanyak ini jarang terjadi dalam hutan tinggi tetapi
kebanyakan dijumpai dalam hutan elfin sehingga sering disebut juga hutan lumut.
Secara fisiognomi kesannya menakutkan, dan kelangkaan bunyi-bunyian selain
bunyi burung yang tidak terlalu sering terdengar menambah kesan seramnya.
Di Gunung Slamet dan Gunung
Ciremai, hutan elfin dijumpai hingga bentuklahan kerucut vulkan yang berbatasan
dengan lereng vulkan. Hutan elfin tidak berkembang dengan baik pada kepundan,
bahkan di Gunung Slamet sebagian kerucut vulkan tidak bervegetasi karena
pengaruh vulkanisme aktif. Salah satu wilayah hutan elfin di Gunung Slamet
adalah pos Samyang Jampang dengan dominasi vegetasi cantigi, adapun di Gunung
Ciremai hutan elfin pada kerucut vulkan berkembang di wilayah pos Sanghyang
Ropoh di luar perbatasan hutan tinggi kawasan Pasanggrahan.
Hutan elfin pada bentuklahan kerucut vulkan di Gunung Slamet dan Ciremai tidak berkembang baik, seperti misalnya dibandingkan dengan Gunung Pangrango yang memiliki hutan elfin hingga puncak berketinggian 3000 mdpal. Hutan elfin hanya berkembang setempat-setempat. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik Gunung Slamet dan Ciremai sebagai vulkan aktif. Aktivitas vulkanik yang masih terus berlangsung berpengaruh terhadap terhambatnya perkembangan hutan elfin.
Kemiringan lereng terjal juga
menyebabkan tingkat erosi tinggi. banyaknya erosi mengurangi kandungan unsur
hara dalam tanah. Akibatnya tanah menjadi miskin sehingga tidak dapat mendukung
perkembangan hutan elfin dengan baik. Mengenai hal ini Van Steenis (2010) juga
mengungkapkan dalam bukunya. Dibandingkan dengan Gunung Slamet, distribusi
hutan elfin yang terdapat di Gunung Ciremai lebih luas hingga mencapai
kepundan, walaupun hanya sebagai vegetasi berukuran kerdil. Hal ini disebabkan
oleh aktivitas vulkanik di Gunung Slamet yang lebih intensif dan berlangsung
hingga saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar