Jumat, 01 Juli 2016

TRIARGA JAWADWIPA, KONSEP PENDAKIAN GRAND SLAM ALA MPA MAHAMERU (Bagian Pertama)


“Pergilah keluar, nikmati alam ini, dan gunung akan menjadi guru yang baik” – Junko Tabei

Kalimat diatas adalah petikan pernyataan dari Junko Tabei, wanita pertama yang mampu mendaki hingga atap dunia di Puncak Everest pada tahun 1975. Seakan memberikan tantangan kepada generasi sekarang: “pergilah mendaki gunung untuk belajar, sebagaimana yang dilakukan oleh para pelopor”. Telah sejak lama manusia mengenal gunung, menghormati dan memitoskannya, bahkan ingin belajar dari penjelajahan di gunung. Para pendaki senior yang telah mencapai puncak-puncak tertinggi dan tersulit pun umumnya juga menyatakan serupa, pendakian bukan untuk menaklukkan gunung, tetapi untuk belajar dan lebih menghargai banyak hal dalam kehidupan.
Dengan latar belakang dan tujuan yang beragam, toh pada akhirnya setiap pendaki yang mampu menyelesaikan misinya akan memperoleh kemasyhuran. Namanya dicatat dalam lembar sejarah dan dikenang hingga banyak generasi setelahnya. Kegiatan pendakian gunung semakin hari semakin diminati, menyebar ke seluruh dunia dan melahirkan banyak pendaki-pendaki profesional. Sementara itu masyarakat juga selalu menunggu cerita-cerita penjelajahan dari berbagai belahan dunia dengan kondisi lingkungan sama sekali berbeda dengan tempat hunian mereka. Suatu tempat di belahan dunia yang lain, yang jauh, yang aneh, yang begitu menyulitkan untuk didatangi.
Ketika pendakian gunung semakin berkembang, maka muncullah kemudian ide-ide untuk menciptakan model pendakian yang tidak biasa, lebih menantang, sekaligus membawa kita untuk mengunjungi dan mendaki gunung di berbagai tempat. Gunung-gunung itu disatukan dalam “paket” yang telah ditentukan klasifikasinya. Sehingga satu keberhasilan adalah awal dari perjalanan berikutnya dalam upaya menggenapi seluruh bagian dalam paket itu. Semacam grand slam kalau kejuaraan tenis, begitulah kira-kira. Mendaki di berbagai belahan dunia tentunya tidak hanya semata menjelajahi gunung di tempat lain, tetapi akan membawa kita untuk mengenal bangsa lain, mempelajari kebudayaan yang lain, serta memperluas wawasan dan memperkaya pengetahuan kita.
 
atas : Richard “Dick” Bass kebangsaan Amerika Serikat penggagas 'grand slam' (sumber : www.arcopodojournal.com)
dan bawah : 
Patrick Morrow kebangsaan  Kanada sumber (sumber : http://bungalobooks.com/)
Lalu bagaimana ide paket grand slam itu mula-mula muncul? Konon semuanya berawal dari Richard “Dick” Bass, seorang pengusaha di Amerika Serikat yang kaya raya dan hobi mendaki gunung. Setelah banyak pendakian dilewatinya, muncullah ide untuk membangun suatu konsep mendaki gunung di berbagai tempat di belahan dunia. Kita sekarang mengenalnya sebagai seven summits, pendakian ke puncak-puncak tertinggi di tujuh benua yaitu Everest 8850 mdpal (Asia), Aconcagua 6962 mdpal (Amerika Selatan), Denali 6194 mdpal (Amerika Utara), Kilimanjaro 5895 mdpal (Afrika), Elbrus 5642 mdpal (Eropa), Vinson Massif 4897 mdpal (Antartika), dan Carstensz Pyramid 4884 mdpal (Oceania) atau Kosciusko 2228 mdpal (Australia). Rudy Badil dan Sani Handoko[1] dalam tulisannya menyebutkan Dick Bass mendapat ide mendaki ketujuh puncak dunia setelah mendaki Gunung McKinley (Denali) di Alaska. Pikirannya terganggu sekali untuk mendaki dan mendaki lagi. Pada tahun 1981 Bass berkenalan dengan Frank Wells, salah seorang pemimpin di perusahaan internasional film besar Warner Brothers. Baas dan Wells kemudian menyusun rencana pendakian seven summits. Mereka bahkan sempat mengajak Reinhold Messner untuk bergabung dalam proyek itu, tetapi ternyata Messner sudah menyusun daftar seven summits versinya sendiri dengan memasukkan Carstensz Pyramid di Papua daripada Puncak Kosciusko di Australia seperti dalam daftar yang disusun Bass. Dalam versi Messner, Carstensz Pyramid dimasukkan dalam daftar karena letaknya masih berada pada lempeng Australasia.
Dick Bass pada akhirnya menjadi seven summiter pertama setelah menyelesaikan pendakian Everest pada tanggal 30 April 1985. Sementara itu untuk versi Messner, Seven Summits pertama kali diselesaikan oleh Patrick Morrow dari Kanada pada tanggal 5 Agustus 1986. Menurut situs 7summits.com, hingga Bulan Juni 2016 tercatat telah ada 409 pendaki yang menyelesaikan seven summits, jumlah yang diperoleh dari penggabungan Carstenz Pyramid dan Kosciusko sekaligus. Seven summits versi Messner dengan Puncak Carstensz Pyramid telah diselesaikan oleh 286 pendaki, sedangkan versi Puncak Kosciusko diselesaikan 259 pendaki. Sebanyak 145 pendaki menyelesaikan Puncak Carstensz Pyramid sekaligus Puncak Kosciusko. Dalam daftar summiteers juga tercatat terdapat 71 pendaki wanita, dan 8 pendaki yang menyelesaikan seven summits tanpa bantuan tabung oksigen. Pencapaian luar biasa yang dimotori oleh sang dewa gunung, Reinhold Messner.
Reinhold Messner (sumber : www.micheldestot.fr/)
Sirkuit pendakian grand slam tidak hanya seven summits. Dalam dunia pendakian gunung juga dikenal seri 14 Eight Thousanders yaitu 14 puncak dunia yang ketinggiannya diatas 8000 mdpal. Semua puncak terletak di Pegunungan Himalaya (dan Karakoram) sehingga sering disebut sebagai The Crowns of Himalayas. 14 Puncak itu adalah Everest (8850 mdpal), K2 (8611 mdpal), Kangchenjunga (8586 mdpal), Lhotse (8516 mdpal), Makalu (8485 mdpal), Cho Oyu (8201 mdal), Dhaulagiri I (8167 mdpal), Manaslu (8163 mdpal), Nanga Parbat (8126 mdpal), Annapurna I (8091 mdpal), Gasherbrum I (8080 mdpal), Broad Peak (8051 mdpal), Gasherbrum II (8035 mdpal), dan Shishapangma (8027 mdpal).
Jika seven summits identik dengan “persaingan” antara Dick Bass dengan Patrick Morrow untuk menjadi yang pertama kali menyelesaikan paket itu, maka 14 Eight Thousanders lakonnya adalah Reinhold Messner dengan Jerzy Kukuczka. Dalam situs wikipedia disebutkan, pada akhirnya Messner (yang memang memulai lebih awal) menjadi yang pertama menyelesaikan seluruh dari 14 Eight Thousanders antara 1970-1986, kemudian Kukuczka (1979-1987). Prestasi Messner di 14 Eight Thousanders adalah pendakian tanpa bantuan tabung oksigen, termasuk beberapa pendakian solo. 14 Eight Thousanders adalah gunung-gunung berbahaya. Majalah National Geographic pernah memuat profil petualangan Reinhold Messner dimana dalam pendakiannya di Nanga Parbat, yang merupakan awal penjelajahannya di Eight Thousanders, ia kehilangan adik laki-lakinya Gunther Messner dan 7 jari kakinya diamputasi karena frostbite. Sejarah ekspedisi ke Eight Thousanders sebenarnya telah dimulai jauh sejak sebelum Messner datang, yaitu ketika Gunther Oskar Dyhrenfurth kembali dari kespedisinya di Jongsang Peak pada tahun 1930. Situs www.8000ers.com, mencatat ada 34 pendaki yang menyelesaikan Eight Thousanders termasuk Messner dan Kukucka.


[1] Lihat: Rudy Badil dan Sani Handoko (ed), 2011. Pucuk Es di Ujung Dunia: Pendakian Puncak 7 Benua. Jakarta: KPG.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 TAJSEM 2016 | Designed With By Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates
Scroll To Top