Sabtu, 02 Juli 2016

TRIARGA JAWADWIPA, KONSEP PENDAKIAN GRAND SLAM ALA MPA MAHAMERU (Bagian Kedua)




Sementara itu di Indonesia digagas sirkuit seven summits Indonesia. Hendri Agustin dalam bukunya[1] mengungkapkan bahwa ide seven summits Indonesia memang terinspirasi dari seven summits yang telah diselesaikan oleh Patrick Morrow. Ia melihat bahwa semenjak adanya konsep prestasi mendaki tujuh puncak dunia, popularitas ketujuh puncak dunia tersebut terus meningkat dan banyak pendaki dari berbagai belahan dunia yang tertantang untuk ambil bagian dari pendakian ke tujuh puncak itu. Dengan dasar tersebut ia melihat ada peluang untuk membuat gunung-gunung Indonesia lebih populer dan juga agar kegiatan pendakian gunung di Indonesia semakin bergairah.
Hendri Agustin melanjutkan, awalnya terpikir untuk membuat list tantangan mendaki gunung di atas 3000 mdpal namun jumlahnya terlalu banyak. Kemudian muncul ide membuat list tujuh puncak tertinggi di Indonesia, namun semuanya berada di wilayah pegunungan Papua yang tentu saja belum dapat merepresentasikan Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan budaya. Dengan demikian ketujuh puncak tertinggi itu harus tersebar di Kepulauan Indonesia. Angka tujuh sendiri memang diadopsi dari tujuh puncak dunia (seven summits). Pada akhirnya diperoleh tujuh puncak di Indonesia yang mewakili pulau besar dan kepulauan yang utama yaitu Pulau Sumatra (Gunung Kerinci, 3805 mdpal), Pulau Jawa (Gunung Semeru 3676 mdpal), Pulau Kalimantan (Gunung Bukit Raya, 2278 mdpal), Pulau Sulawesi (Gunung Rante Mario 3430 mdpal), Pulau Papua (Carstensz Pyramid 4884 mdpal), Kepulauan Maluku (Gunung Binaiya 3027 mdal), dan Kepulauan Sunda Kecil (Rinjani 3726 mdpal). Situs www.the7summitsindonesia.com mencatat hingga saat ini seven summits of Indonesia telah diselesaikan oleh 3 orang pendaki.
Mengenai Seven Summits Indonesia, Patrick Morrow turut memberikan komentarnya. “The seven summits yang pertama (dunia) adalah cara yang bagus untuk melihat dunia, dan yang terakhir (Indonesia) adalah cara yang bagus untuk melihat Indonesia. Untuk itu, banyak orang Indonesia, bukan hanya orang asing yang kaya, dapat mengalihkan perhatian untuk menjelajahi halaman belakang mereka yang luar biasa Indahnya dari perspektif yang ditinggikan untuk puncak yang indah, di daerah yang indah. Saya merasa bahwa semua orang yang melakukan proyek Seven Summits Indonesia akan keluar di ujung lainnya dengan apresiasi baru akan negara mereka sendiri, dan planet biru kecil kita. Itu adalah harapan terbesar saya bahwa anda akan termotivasi untuk mengambil langkah-langkah kecil mendaki gunung ke arah membantu pelestarian lingkungan alam”.
Terinspirasi dari sirkuit grand slam yang telah ada baik pada level internasional maupun nasional, MPA Mahameru mengembangkan konsep sirkuit grand slam sendiri yaitu tiga puncak tertinggi di tiga wilayah Pulau Jawa yang disebut sebagai Triarga Jawadwipa. Ketiga puncak tersebut adalah Semeru 3676 mdpal (Jawa Bagian Timur), Slamet 3428 mdpal (Jawa Bagian Tengah), Ciremai 3078 mdpal (Jawa Bagian Barat). Kami sudah belajar bahwa paket yang diajukan, mengenai lingkup wilayahnya dan berapa jumlah targetnya, tentu didukung dengan dasar yang kuat. Lalu mengapa harus tiga puncak Jawa? Apa dasarnya? Apa yang bisa dipelajari?
Seperti yang dikatakan oleh Patrick Morrow, Seven Summits adalah cara melihat dunia, Seven Summits Indonesia adalah cara melihat Indonesia. Triarga Jawadwipa adalah cara untuk melihat lebih dekat Pulau Jawa, salah satu bagian dari Indonesia. Jawa adalah pulau dengan banyak sekali gunung. Verstappen[2] mencatat ada 23 vulkan tipe A, ada pula 10 vulkan yang ketinggiannya diatas 3000 mdpal. Dengan banyaknya gunung yang ada di Jawa, tidak ada lagi alasan untuk meninggalkan Jawa dalam kegiatan ekspedisi pendakian gunung di Indonesia. Pulau Jawa adalah salah satu pulau besar di bagian barat Indonesia. Pannekoek (1949)[3] dalam bukunya Outline of The Geomorphology of Java menjelaskan, Pulau Jawa memiliki luas kurang lebih 127.000 km2, memanjang dari barat ke timur sepanjang 1.000 km. Pulau Jawa memiliki sifat fisiografi yang khas yang disebabkan oleh beberapa keadaan sebagai hasil kombinasi pengaruh iklim tropis dan tektonisme aktif. Pannekoek sendiri membagi Pulau Jawa menjadi tiga wilayah geomorfologi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dengan dasar pembagian Geomorfologi Jawa menurut Pannekoek inilah muncul gagasan untuk mengeksplorasi tiga puncak tertinggi yang mewakili masing-masing wilayah tersebut.
Jawa juga merupakan pulau yang terpengaruh oleh fenomena monsun (muson). Sebagai akibat dari pergerakan monsun barat yang basah yang terpengaruh oleh gaya coriolis, maka curah hujan di Pulau Jawa menjadi tidak sama besarnya antara bagian barat, bagian tengah, dan bagian timur. Curah hujan yang tidak merata selanjutnya berpengaruh terhadap karakteristik vegetasi gunung-gunung yang terdapat di masing-masing wilayah tersebut. Diferensiasi vegetasi ini juga memberikan penguatan mengapa perlu adanya eksplorasi gunung yang mewakili masing-masing wilayah.
Penduduk di Pulau Jawa berdasarkan hasil sensus tahun 2010 (di seluruh provinsi yang terdapat di Pulau Jawa termasuk pulau-pulau di sekitarnya) sebesar 136.610.590 jiwa atau 57,49% dari jumlah penduduk Indonesia. Bachri[4] dkk mengatakan bahwa 120 juta penduduk Pulau Jawa bertempat tinggal di wilayah 30 gunungapi. Banyaknya jumlah penduduk yang hidup berdekatan dengan gunung tentu menghasilkan sistem kehidupan masyarakat yang spesifik. Kembali ke masing-masing wilayah (bagian barat, tengah, dan timur), ternyata juga terdapat perbedaan suku bangsa, adat istiadat, bahasa, dan berbagai aspek budaya masyarakat lainnya. Kondisi ini sekali lagi memberikan penguatan dikembangkannya konsep Triarga Jawadwipa di kalangan MPA Mahameru.
Sebagai komunitas pecinta alam yang dilahirkan di kampus, MPA Mahameru memiliki tanggungjawab untuk menjalankan peran sebagai bagian dari masyarakat akademik (civitas academika). Kami telah belajar tentang geomorfologi indonesia, geografi regional indonesia, geografi budaya, sejarah, dan berbagai bidang kajian lainnya sehingga perlu adanya implementasi keilmuan melalui kegiatan ekspedisi pendakian gunung. Terakhir, Pulau Jawa memiliki banyak komunitas pecinta alam sehingga sudah sewajarnya untuk menjelajahi kampung halaman sendiri. Ada ungkapan di kalangan anggota MPA Mahameru bahwa “kita boleh mendaki sampai belahan bumi manapun, tapi tidak akan lengkap tanpa menjajal triarga jawadwipa, atap rumah kita sendiri”.



[1] Lihat: Hendri Agustin. 2015. The Seven Summits of Indonesia – Tujuh Puncak Tertinggi di Tujuh Pulau/Kepulauan Besar Indonesia. Yogyakarta: Penerbit ANDI
[2] Verstappen. 2013. Outline of The Geomorphology of Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
[3] Pannekoek, A.J. 1949. Outline of The Geomorphology of Java. Leiden: E. J. Brill.
[4] Bachri, S., Stotter, J., Monreal, M., Sartohadi, J., 2015. The Calamity of Eruptions, or an Eruption of Benefits? Mt. Bromo Human-Volcano System a Case Study of an Open-Risk Perception. Nat Hazard Earth Syst. Sci 15 (2015): 277-290.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 TAJSEM 2016 | Designed With By Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates
Scroll To Top