Sementara itu di Indonesia digagas
sirkuit seven summits Indonesia.
Hendri Agustin dalam bukunya[1]
mengungkapkan bahwa ide seven summits
Indonesia memang terinspirasi dari seven
summits yang telah diselesaikan oleh Patrick Morrow. Ia melihat bahwa
semenjak adanya konsep prestasi mendaki tujuh puncak dunia, popularitas ketujuh
puncak dunia tersebut terus meningkat dan banyak pendaki dari berbagai belahan
dunia yang tertantang untuk ambil bagian dari pendakian ke tujuh puncak itu. Dengan
dasar tersebut ia melihat ada peluang untuk membuat gunung-gunung Indonesia
lebih populer dan juga agar kegiatan pendakian gunung di Indonesia semakin
bergairah.
Hendri Agustin melanjutkan,
awalnya terpikir untuk membuat list
tantangan mendaki gunung di atas 3000 mdpal namun jumlahnya terlalu banyak.
Kemudian muncul ide membuat list tujuh puncak tertinggi di Indonesia, namun
semuanya berada di wilayah pegunungan Papua yang tentu saja belum dapat
merepresentasikan Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan budaya. Dengan
demikian ketujuh puncak tertinggi itu harus tersebar di Kepulauan Indonesia.
Angka tujuh sendiri memang diadopsi dari tujuh puncak dunia (seven summits).
Pada akhirnya diperoleh tujuh puncak di Indonesia yang mewakili pulau besar dan
kepulauan yang utama yaitu Pulau Sumatra (Gunung Kerinci, 3805 mdpal), Pulau
Jawa (Gunung Semeru 3676 mdpal), Pulau Kalimantan (Gunung Bukit Raya, 2278
mdpal), Pulau Sulawesi (Gunung Rante Mario 3430 mdpal), Pulau Papua (Carstensz
Pyramid 4884 mdpal), Kepulauan Maluku (Gunung Binaiya 3027 mdal), dan Kepulauan
Sunda Kecil (Rinjani 3726 mdpal). Situs www.the7summitsindonesia.com
mencatat hingga saat ini seven summits
of Indonesia telah diselesaikan oleh 3 orang pendaki.
Mengenai Seven Summits Indonesia, Patrick Morrow turut memberikan
komentarnya. “The seven summits yang
pertama (dunia) adalah cara yang bagus untuk melihat dunia, dan yang terakhir
(Indonesia) adalah cara yang bagus untuk melihat Indonesia. Untuk itu, banyak
orang Indonesia, bukan hanya orang asing yang kaya, dapat mengalihkan perhatian
untuk menjelajahi halaman belakang mereka yang luar biasa Indahnya dari
perspektif yang ditinggikan untuk puncak yang indah, di daerah yang indah. Saya
merasa bahwa semua orang yang melakukan proyek Seven Summits Indonesia akan keluar di ujung lainnya dengan
apresiasi baru akan negara mereka sendiri, dan planet biru kecil kita. Itu
adalah harapan terbesar saya bahwa anda akan termotivasi untuk mengambil
langkah-langkah kecil mendaki gunung ke arah membantu pelestarian lingkungan
alam”.
Terinspirasi dari sirkuit grand slam yang telah ada baik
pada level internasional maupun nasional, MPA Mahameru mengembangkan konsep
sirkuit grand slam sendiri yaitu tiga
puncak tertinggi di tiga wilayah Pulau Jawa yang disebut sebagai Triarga
Jawadwipa. Ketiga puncak tersebut adalah Semeru 3676 mdpal (Jawa Bagian Timur),
Slamet 3428 mdpal (Jawa Bagian Tengah), Ciremai 3078 mdpal (Jawa Bagian Barat).
Kami sudah belajar bahwa paket yang diajukan, mengenai lingkup wilayahnya dan
berapa jumlah targetnya, tentu didukung dengan dasar yang kuat. Lalu mengapa harus
tiga puncak Jawa? Apa dasarnya? Apa yang bisa dipelajari?
Seperti yang dikatakan oleh
Patrick Morrow, Seven Summits adalah
cara melihat dunia, Seven Summits
Indonesia adalah cara melihat Indonesia. Triarga Jawadwipa adalah cara untuk
melihat lebih dekat Pulau Jawa, salah satu bagian dari Indonesia. Jawa adalah
pulau dengan banyak sekali gunung. Verstappen[2]
mencatat ada 23 vulkan tipe A, ada pula 10 vulkan yang ketinggiannya diatas
3000 mdpal. Dengan banyaknya gunung yang ada di Jawa, tidak ada lagi alasan
untuk meninggalkan Jawa dalam kegiatan ekspedisi pendakian gunung di Indonesia.
Pulau Jawa adalah salah satu pulau besar di bagian barat Indonesia. Pannekoek
(1949)[3]
dalam bukunya Outline of The
Geomorphology of Java menjelaskan, Pulau
Jawa memiliki luas kurang lebih 127.000 km2, memanjang dari barat ke
timur sepanjang 1.000 km. Pulau Jawa memiliki sifat fisiografi yang khas yang
disebabkan oleh beberapa keadaan sebagai hasil kombinasi pengaruh iklim tropis
dan tektonisme aktif. Pannekoek sendiri membagi Pulau Jawa menjadi tiga wilayah
geomorfologi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dengan dasar
pembagian Geomorfologi Jawa menurut Pannekoek inilah muncul gagasan untuk
mengeksplorasi tiga puncak tertinggi yang mewakili masing-masing wilayah tersebut.
Jawa juga merupakan pulau yang terpengaruh oleh fenomena monsun (muson).
Sebagai akibat dari pergerakan monsun barat yang basah yang terpengaruh oleh
gaya coriolis, maka curah hujan di
Pulau Jawa menjadi tidak sama besarnya antara bagian barat, bagian tengah, dan
bagian timur. Curah hujan yang tidak merata selanjutnya berpengaruh terhadap
karakteristik vegetasi gunung-gunung yang terdapat di masing-masing wilayah
tersebut. Diferensiasi vegetasi ini juga memberikan penguatan mengapa perlu
adanya eksplorasi gunung yang mewakili masing-masing wilayah.
Penduduk di Pulau Jawa berdasarkan hasil sensus tahun 2010 (di seluruh
provinsi yang terdapat di Pulau Jawa termasuk pulau-pulau di sekitarnya)
sebesar 136.610.590 jiwa atau 57,49% dari jumlah penduduk Indonesia. Bachri[4] dkk mengatakan bahwa 120
juta penduduk Pulau Jawa bertempat tinggal di wilayah 30 gunungapi. Banyaknya
jumlah penduduk yang hidup berdekatan dengan gunung tentu menghasilkan sistem
kehidupan masyarakat yang spesifik. Kembali ke masing-masing wilayah (bagian
barat, tengah, dan timur), ternyata juga terdapat perbedaan suku bangsa, adat
istiadat, bahasa, dan berbagai aspek budaya masyarakat lainnya. Kondisi ini
sekali lagi memberikan penguatan dikembangkannya konsep Triarga Jawadwipa di
kalangan MPA Mahameru.
Sebagai komunitas pecinta alam yang dilahirkan di kampus, MPA Mahameru
memiliki tanggungjawab untuk menjalankan peran sebagai bagian dari masyarakat
akademik (civitas academika). Kami
telah belajar tentang geomorfologi indonesia, geografi regional
indonesia, geografi budaya, sejarah, dan berbagai bidang kajian lainnya
sehingga perlu adanya implementasi keilmuan melalui kegiatan ekspedisi
pendakian gunung. Terakhir, Pulau Jawa memiliki banyak komunitas pecinta alam
sehingga sudah sewajarnya untuk menjelajahi kampung halaman sendiri. Ada
ungkapan di kalangan anggota MPA
Mahameru bahwa “kita boleh mendaki sampai belahan bumi manapun, tapi tidak akan
lengkap tanpa menjajal triarga jawadwipa, atap rumah kita sendiri”.
[1]
Lihat: Hendri Agustin. 2015. The Seven Summits of Indonesia – Tujuh Puncak
Tertinggi di Tujuh Pulau/Kepulauan Besar Indonesia. Yogyakarta: Penerbit ANDI
[2]
Verstappen. 2013. Outline of The Geomorphology of Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
[4] Bachri, S., Stotter, J., Monreal, M.,
Sartohadi, J., 2015. The Calamity of Eruptions, or an Eruption of Benefits? Mt.
Bromo Human-Volcano System a Case Study of an Open-Risk Perception. Nat Hazard Earth Syst. Sci 15 (2015):
277-290.
0 komentar:
Posting Komentar