TOPONIMI POS PENDAKIAN GUNUNG SLAMET JALUR BAMBANGAN. SAMARANTU, BUKAN
SEKEDAR SAMAR-HANTU
(catatan summiter
dari lapangan)
|
Pemandangan dari Base Camp Dusun Bambangan menjelang matahari terbit |
Kami sangat bersyukur bahwa pada
tahun 2016 ini MPA Mahameru akhirnya benar-benar sukses merealisasikan program scientific expedition melalui TAJSEM
2016. Merupakan suatu kebanggaan dapat terlibat dalam project ini sebagai
summiter. Banyak sekali pelajaran yang kami peroleh melalui scientific expedition. Kami dapat
menggali banyak informasi mengenai kondisi fisik gunung yang kami datangi serta
melakukan wawancara dengan masyarakat setempat untuk menghimpun
informasi-informasi berharga seputar gunung dan pendakiannya. Walaupun disisi
lain program ini membawa konsekuensi pada jadwal ekspedisi yang menjadi lebih
panjang, namun secara umum cukup menyenangkan bagi kami untuk menggali banyak
informasi bersamaan dengan kegiatan pendakian. Kami sadar, tidak semua orang
memperoleh kesempatan yang sama dengan kami.
Pada saat melakukan pendakian
Gunung Slamet pada tanggal 13-17 Mei 2016, kami melakukan wawancara dengan
masyarakat dan memperoleh keterangan menarik tentang toponimi pos-pos pendakian
di Gunung Slamet. Berikut adalah informasi yang ingin kami bagi dengan pembaca
sekalian.
Sebagaimana telah kita ketahui, ekspedisi
Triarga Jawadwipa adalah suatu rangkaian ekspedisi di tiga puncak Pulau Jawa yang
mewakili tiga wilayah geomorfologi, yaitu Puncak Ciremai (3078 mdpl) sebagai
puncak tertinggi Jawa Barat, Puncak Slamet (3428 mdpl) di Jawa Tengah, dan
Puncak Semeru (3676 mdpl) di Jawa Timur.
Dalam ekspedisi ini para summiter dengan
dukungan supporting team lapangan bertugas untuk melakukan survei aspek fisik
berupa biogeomorfologi, serta menemukenali berbagai kearifan lokal pada
masyarakat setempat khususnya dalam pengelolaan lingkungan. Selain itu karena
daerah observasi merupakan daerah vulkan yang aktif maka aspek kebencanaan juga
dimasukkan sebagai aspek yang harus diamati oleh summiter di lapangan. Bahkan
hingga saat ini, tim summiter masih melaksanakan penelitian mengenai modal
sosial dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Slamet. Apabila penelitian
tersebut telah selesai, artikel yang memuat hasil penelitian tersebut akan
segera dipublikasikan.
Gunung Slamet merupakan target
pertama dalam rangkaian ekspedisi triarga ini. Pendakian ke puncak Gunung
Slamet dilakukan melalui Jalur Bambangan, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya, tim yang bertugas pada
aspek cultural melakukan observasi
dan wawancara di sekitar basecamp Dusun
Bambangan sebelum dan sesudah pendakian. Dalam proses wawancara, tim berhasil
memperoleh temuan menarik kaitannya dengan tema ekspedisi, yaitu tentang
toponimi (asal-usul pemberian nama) pos-pos pendakian yang ada di Jalur
Bambangan. Temuan-temuan tersebut didapatkan tim dari beberapa narasumber key person yang merupakan sesepuh desa
dan salah seorang juru kunci Gunung Slamet.
Jalur Pendakian Bambangan memiliki
9 pos yang mempunyai nama-nama tersendiri seperti pada umumnya pos-pos
pendakian lainnya. Secara berurutan pos-pos tersebut adalah Pos Pondok
Gembirung, Pos Pondok Walang, Pos Pondok Cemara, Pos Samarantu, Pos Samyang
Rangkah, Pos Samyang Jampang, Pos Samyang Kendit, dan Pos Plawangan.
Berdasarkan hasil wawancara tim
dengan narasumber, diketahui bahwa nama-nama pos tersebut diambil dari nama
tumbuhan yang mendominasi wilayah sekitar pos dan sepanjang jalur pendakian
menuju pos tersebut. Pos pendakian terbawah adalah pos Gembirung dan Pos
Walang. Daerah tersebut memiliki ketinggian wilayah sekitar 1935 mdpl dengan
banyak pohon-pohon pendek dan padang rumput di kanan dan kiri jalur pendakian.
Menurut bahasa lokal setempat, daerah dengan karakteristik vegetasi demikian
merupakan gembirung dan walang, yang dapat diterjemahkan sebagai ilalang atau
belalang dalam bahasa jawa. Selanjutnya adalah pos Pondok Cemara yang dikaitkan
dengan jenis pohon cemara atau pinus.
Mendaki ke atas dari Pos Pondok
Cemara selanjutnya pendaki akan tiba di Pos Samarantu. Berdasarkan hasil
wawancara, asal mula nama samarantu berasal dari nama tumbuhan samarantu, yang
menurut masyarakat lokal Dusun Bambangan adalah nama lain dari pohon dengan ciri
bentuk pohonnya pendek dan memiliki batang kecil. Dalam observasi lapangan di
sekitar Pos Samarantu, kami menjumpai pohon dengan ciri-ciri seperti yang
disampaikan oleh narasumber, yaitu bentuk pohon rendah dan berbatang kecil hingga sedang seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini.
Keluar dari wilayah hutan
mendekati wilayah puncak, terdapat Pos Samyang Jampang. Nama Jampang menurut penjelasan ciri-cirinya diduga
kuat merupakan nama lain dari Pohon Cantigi (
Vaccinium varingiaefolium). Tanaman pionir ini (
baca : tumbuhan pionir di kepundan gunung ciremai) dapat di temui di
seluruh pulau Jawa pada ketinggian antara 1500-3300 mdpl (Backer &
Bakhuizen van den Brink, 1965), memiliki daun yang tebal dan kecil-kecil,
dengan warna hijau, merah dan ungu, serta batangnya merah kecokelatan. Buahnya
berwarna hitam dan berbentuk bulat seperti beri. Pohonnya tumbuh berupa pohon
kecil atau semak bercabang-cabang dengan satu batang. Bunganya seperti bunga
anggrek berwarna meran dan ukuran bunga cantigi yang ada di pegunungan lebih
besar dibandingkan bunga cantigi yang ada di pantai. Pada pos Samyang Jampang
mulai banyak ditemukan vegetasi cantigi.
Diantara nama-nama pos yang
terdapat pada Jalur Pendakian Bambangan, Pos Samarantu termasuk yang paling
terkenal di kalangan pendaki. Hal ini tidak lepas dari banyaknya keterangan
yang mengkaitkan nama samarantu dengan kata “Samar” dan “Antu/Hantu” atau
“Samar-samar Berhantu”. Ada pula yang menyebut “hantu yang samar-samar”. Keterangan
ini cukup populer di kalangan pendaki apalagi Gunung Slamet termasuk gunung
yang banyak dikaitkan dengan berbagai cerita mistis. Keterangan ini sangat
mungkin berkaitan dengan berkembangnya isu mistis, selain itu dapat pula anggapan
mengenai samar-hantu yang diberikan para pendaki tersebut dikarenakan pada pos
ini banyak pendaki mengalami hypothermia
dan penyakit ketinggian (AMS), demikian menurut keterangan tim SAR yang
bertugas di Pos Pendakian Bambangan.
|
Tim TAJSEM saat memperoleh keterangan dari anggota SAR Purbalingga yang bertugas di base camp bambangan |
Berdasarkan pengamatan aspek fisik
yang dilakukan oleh tim di lapangan, pohon-pohon pada pos samarantu memiliki
kanopi yang mulai terbuka, tidak seperti pada
pos-pos sebelumnya yang memiliki kanopi tertutup dan rapat dengan
pepohonan yang besar. Kemudian lokasi pos tersebut terletak pada posisi igir
pegunungan, sehingga angin yang bertiup pada pos tersebut khususnya pada malam
hari langsung mengenai tempat-tempat mendirikan tenda tanpa terhalang oleh
kanopi dan pepohonan besar. Diduga inilah alasan mengapa pada pos tersebut
sering terdapat pendaki yang mengalami kecelakaan dalam pendakian baik
mengalami hypothermia, AMS, dan
lainnya.
Informasi mengenai nama-nama
vegetasi yang digunakan sebagai nama pos di Jalur Pendakian Bambangan ini cukup
menarik, apalagi tim ekspedisi TAJSEM juga bertugas mengamati kondisi vegetasi.
Dalam konsep yang telah kami pelajari persebaran jenis tumbuhan tertentu sangat
ditentukan oleh iklim (suhu dan curah hujan) yang berkaitan dengan ketinggian
suatu daerah, bahan induk tanah, serta tingkat perkembangan tanah. Berdasarkan konsep
tersebut, perbedaan ketinggian akan mempengaruhi variasi vegetasi baik jenis
maupun ukurannya dengan gejala semakin ke atas vegetasi yang dijumpai semakin
kecil.