Minggu, 07 Agustus 2016

NEW



Dalam ekspedisi Tajsem 2016, seorang summiter mendapatkan dua tugas sekaligus yaitu misi melakukan pendakian hingga mencapai puncak triarga dan misi melakukan penelitian yang meliputi aspek abiotik, biotik, dan cultural. Dari pengamatan aspek abiotik yang kami lakukan di Gunung Ciremai kami mendapatkan data yang cukup menarik seputar edelweiss di bawah Puncak Ciremai, tepatnya di Pos Goa Walet yang merupakan pos terakhir sebelum puncak dari rute pendakian melalui Jalur Palutungan maupun Jalur Apuy. Informasi mengenai edelweis selalu menarik. Mengapa demikian? Karena edelweis merupakan salah satu ikon dari pendakian gunung tinggi, dimana seorang pendaki yang telah berjuang keras mendaki ke atas biasanya akan mendapatkan “bonus” pemandangan padang edelweis yang indah.





"Catatan tambahan, keindahan edelweis tidak dijumpai di bawah tegakan hutan ketika seorang pendaki masih berada di awal perjalanan".

Edelweiss merupakan tanaman perintis yang banyak dijumpai pada kerucut gunungapi. Vegetasi ini dapat hidup pada endapan lava, piroklastik, abu, lahar, dan laut pasir, di sekitar wilayah puncak. Menurut Van Steenis (2010) dalam bukunya “Flora Pegunungan Jawa”, terdapat beberapa jenis anaphalis antara lain Anaphalis javanica, Anaphalis viscida, Anaphalis longifolia, dan Anaphalis maxima. Anaphalis javanica merupakan tumbuhan pionir berumur panjang pada endapan abu vulkanik, tanah kawah. Ciri-cirinya adalah perdu berbulu putih, bercabang lebat, sering bengkok-bengkok, tinggi hingga empat meter, batang sebesar pergelangan tangan, ranting-ranting berdaun kering putih kelabu, pada ujung atasnya terdapat daun yang mengumpul dan bonggol-bonggol bunga putih melimpah. Seringkali tumbuh mengelompok pada lahan tidak subur, lereng berpasir atau berbatu, terutama di kawah, dan tidak terlalu membutuhkan tanah.

Anaphalis viscida mirip dengan Anaphalis javanica, tetapi daunnya hijau tanpa lapisan putih, lengket karena berbulu kelenjar, dan bonggol bunga lebih besar. Anaphalis longifolia, tegak bercabang kadang-kadang pangkalnya agak berkayu, tinggi hingga 1,5 meter. Batang dan permukaan bawah daun putih, jarang kekuningan, bunga atas hijau bila masih segar. Anaphalis maxima dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 3 meter, lebat, bercabang banyak, berkayu di pangkalnya berbulu keputih-putihan tetapi hijaunya daun terlihat. Jenis ini hanya dijumpai di beberapa gunung.
Mengacu pada keterangan Van Steenis, kami menjumpai Anaphalis javanica dan Anaphalis viscida di sekitar Pos Gua Walet. Sekilas memang agak sulit dibedakan karena kedua jenis edelweiss ini sangat mirip, hanya dibedakan oleh keberadaan lapisan putih yang menyelimuti daun. 

Gua Walet sendiri di beberapa sumber disebutkan sebagai bekas titik erupsi. Wilayah Gua Walet memiliki ketinggian sekitar 2900 mdpal, berjarak sekitar 30 menit perjalanan mendaki dari Puncak Ciremai. Dengan material penyusun berupa bebatuan hasil erupsi dengan sangat sedikit tanah, ditambah dengan pengaruh kadar keasaman kawah, praktis hanya jenis vegetasi perintis yang dapat pertahan hidup di wilayah ini. 

Jenis Anaphalis cukup banyak dijumpai selain cantigi (Vaccinium varingiaefolium). Umumnya edelweiss tumbuh bergerombol, beberapa diantaranya tumbuh tinggi hingga mencapai lebih dari 2 meter dan berbatang keras sebesar pergelangan tangan.

Bunga-bunga edelweiss yang telah mekar sempurna berwarna putih kekuningan berpadu dengan bunga cantigi dan daunnya yang berwarna kemerahan. Sesekali kabut datang kemudian tersingkap kembali menghadirkan panorama langit biru di pagi hari, ditambah dengan pemandangan hutan hujan tropis dan kawasan perkotaan di area bawah menambah suasana yang indah, nyaman, dan tenang di Gua Walet. Bagaimana, anda tertarik mengunjunginya?

ANAPHALIS JAVANICA DAN ANAPHALIS VISCIDA, PENJAGA KEHENINGAN GOA WALET CIREMAI

Read More

Selasa, 02 Agustus 2016




Pengibaran bendera TAJSEM 2016 oleh empat orang summiter di Puncak Gunung Ciremai pada pagi hari tanggal 17 Juli 2016 menjadi tanda tercapainya target kedua dari rangkaian puncak dalam ekspedisi triarga. Tidak terasa ekspedisi ini telah melewati separuh perjalanan.


Telah banyak informasi yang berhasil dihimpun dalam konteks scientific expedition, dalam hal ini mengenai Gunung Slamet dan Gunung Ciremai, baik kondisi fisik bentanglahannya maupun sosial budaya masyarakatnya.
Dalam perjalanan mendaki menuju puncak di Gunung Slamet dan Ciremai, tim melewati berbagai bentuklahan mulai dari dataran kaki vulkan, kaki vulkan, lereng vulkan, kerucut vulkan, dan kepundan. Kedua gunung bertetangga ini kebetulan memiliki morfologi yang relatif sama sebagai vulkan komposit dengan kerucut sempurna, serta bibir kawah sebagai puncak pendakiannya. Dengan karakteristik iklim yang juga relatif sama, kedua gunung ini memiliki kemiripan dalam hal distribusi vegetasinya yaitu didominasi oleh hutan hujan tropis yang lebat dengan batang pohon besar berlumut, kanopi tinggi, kerapatan vegetasi tinggi, hingga mencapai ketinggian 2500 mdpal. Hutan elfin berkembang setempat-setempat di atas elevasi itu, pada lereng yang semakin terjal tersusun dari endapan lava dan tefra jatuhan pada kerucut gunungapi tepat di bawah kepundan.
Hutan elfin, sebagaimana dijelaskan oleh Van Steenis (2010) adalah formasi hutan primer di atas elevasi 2000 mdpal. Struktunya dicirikan oleh sebuah kanopi rendah yang terdiri atas pohon-pohon yang tumbuh rapat dengan batang yang sering bengkok. Daun-daunnya kecil dan tebal, merupakan hutan campuran dengan tinggi 8-20 meter. Dalam kondisi tidak terganggu tipe hutan elfin akan menyelimuti pegunungan mulai dari 2000 mdpal hingga ke puncaknya jika vulkanisme atau kebakaran tidak mengganggunya. Pohon-pohon di hutan pegunungan tinggi selalu berlumut. Pertumbuhan lumut sebanyak ini jarang terjadi dalam hutan tinggi tetapi kebanyakan dijumpai dalam hutan elfin sehingga sering disebut juga hutan lumut. Secara fisiognomi kesannya menakutkan, dan kelangkaan bunyi-bunyian selain bunyi burung yang tidak terlalu sering terdengar menambah kesan seramnya.
Di Gunung Slamet dan Gunung Ciremai, hutan elfin dijumpai hingga bentuklahan kerucut vulkan yang berbatasan dengan lereng vulkan. Hutan elfin tidak berkembang dengan baik pada kepundan, bahkan di Gunung Slamet sebagian kerucut vulkan tidak bervegetasi karena pengaruh vulkanisme aktif. Salah satu wilayah hutan elfin di Gunung Slamet adalah pos Samyang Jampang dengan dominasi vegetasi cantigi, adapun di Gunung Ciremai hutan elfin pada kerucut vulkan berkembang di wilayah pos Sanghyang Ropoh di luar perbatasan hutan tinggi kawasan Pasanggrahan.

Hutan elfin pada bentuklahan kerucut vulkan di Gunung Slamet dan Ciremai tidak berkembang baik, seperti misalnya dibandingkan dengan Gunung Pangrango yang memiliki hutan elfin hingga puncak berketinggian 3000 mdpal. Hutan elfin hanya berkembang setempat-setempat. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik Gunung Slamet dan Ciremai sebagai vulkan aktif. Aktivitas vulkanik yang masih terus berlangsung berpengaruh terhadap terhambatnya perkembangan hutan elfin.
Kemiringan lereng terjal juga menyebabkan tingkat erosi tinggi. banyaknya erosi mengurangi kandungan unsur hara dalam tanah. Akibatnya tanah menjadi miskin sehingga tidak dapat mendukung perkembangan hutan elfin dengan baik. Mengenai hal ini Van Steenis (2010) juga mengungkapkan dalam bukunya. Dibandingkan dengan Gunung Slamet, distribusi hutan elfin yang terdapat di Gunung Ciremai lebih luas hingga mencapai kepundan, walaupun hanya sebagai vegetasi berukuran kerdil. Hal ini disebabkan oleh aktivitas vulkanik di Gunung Slamet yang lebih intensif dan berlangsung hingga saat ini.

ELFIN KERUCUT VULKAN DI SAMYANG JAMPANG DAN SANGHYANG ROPOH

Read More

Sabtu, 30 Juli 2016

TOPONIMI POS PENDAKIAN GUNUNG SLAMET JALUR BAMBANGAN. SAMARANTU, BUKAN SEKEDAR SAMAR-HANTU
(catatan summiter dari lapangan)

 
Pemandangan dari Base Camp Dusun Bambangan menjelang matahari terbit

Kami sangat bersyukur bahwa pada tahun 2016 ini MPA Mahameru akhirnya benar-benar sukses merealisasikan program scientific expedition melalui TAJSEM 2016. Merupakan suatu kebanggaan dapat terlibat dalam project ini sebagai summiter. Banyak sekali pelajaran yang kami peroleh melalui scientific expedition. Kami dapat menggali banyak informasi mengenai kondisi fisik gunung yang kami datangi serta melakukan wawancara dengan masyarakat setempat untuk menghimpun informasi-informasi berharga seputar gunung dan pendakiannya. Walaupun disisi lain program ini membawa konsekuensi pada jadwal ekspedisi yang menjadi lebih panjang, namun secara umum cukup menyenangkan bagi kami untuk menggali banyak informasi bersamaan dengan kegiatan pendakian. Kami sadar, tidak semua orang memperoleh kesempatan yang sama dengan kami.
Pada saat melakukan pendakian Gunung Slamet pada tanggal 13-17 Mei 2016, kami melakukan wawancara dengan masyarakat dan memperoleh keterangan menarik tentang toponimi pos-pos pendakian di Gunung Slamet. Berikut adalah informasi yang ingin kami bagi dengan pembaca sekalian.


Sebagaimana telah kita ketahui, ekspedisi Triarga Jawadwipa adalah suatu rangkaian ekspedisi di tiga puncak Pulau Jawa yang mewakili tiga wilayah geomorfologi, yaitu Puncak Ciremai (3078 mdpl) sebagai puncak tertinggi Jawa Barat, Puncak Slamet (3428 mdpl) di Jawa Tengah, dan Puncak Semeru (3676 mdpl) di Jawa Timur. 
Baca Grand Design Ekspedisi TAJSEM 2016 :        Konsep,              Target,               Metode



Dalam ekspedisi ini para summiter dengan dukungan supporting team lapangan bertugas untuk melakukan survei aspek fisik berupa biogeomorfologi, serta menemukenali berbagai kearifan lokal pada masyarakat setempat khususnya dalam pengelolaan lingkungan. Selain itu karena daerah observasi merupakan daerah vulkan yang aktif maka aspek kebencanaan juga dimasukkan sebagai aspek yang harus diamati oleh summiter di lapangan. Bahkan hingga saat ini, tim summiter masih melaksanakan penelitian mengenai modal sosial dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Slamet. Apabila penelitian tersebut telah selesai, artikel yang memuat hasil penelitian tersebut akan segera dipublikasikan.
Gunung Slamet merupakan target pertama dalam rangkaian ekspedisi triarga ini. Pendakian ke puncak Gunung Slamet dilakukan melalui Jalur Bambangan, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya, tim yang bertugas pada aspek cultural melakukan observasi dan wawancara di sekitar basecamp Dusun Bambangan sebelum dan sesudah pendakian. Dalam proses wawancara, tim berhasil memperoleh temuan menarik kaitannya dengan tema ekspedisi, yaitu tentang toponimi (asal-usul pemberian nama) pos-pos pendakian yang ada di Jalur Bambangan. Temuan-temuan tersebut didapatkan tim dari beberapa narasumber key person yang merupakan sesepuh desa dan salah seorang juru kunci Gunung Slamet.
Jalur Pendakian Bambangan memiliki 9 pos yang mempunyai nama-nama tersendiri seperti pada umumnya pos-pos pendakian lainnya. Secara berurutan pos-pos tersebut adalah Pos Pondok Gembirung, Pos Pondok Walang, Pos Pondok Cemara, Pos Samarantu, Pos Samyang Rangkah, Pos Samyang Jampang, Pos Samyang Kendit, dan Pos Plawangan.
Berdasarkan hasil wawancara tim dengan narasumber, diketahui bahwa nama-nama pos tersebut diambil dari nama tumbuhan yang mendominasi wilayah sekitar pos dan sepanjang jalur pendakian menuju pos tersebut. Pos pendakian terbawah adalah pos Gembirung dan Pos Walang. Daerah tersebut memiliki ketinggian wilayah sekitar 1935 mdpl dengan banyak pohon-pohon pendek dan padang rumput di kanan dan kiri jalur pendakian. Menurut bahasa lokal setempat, daerah dengan karakteristik vegetasi demikian merupakan gembirung dan walang, yang dapat diterjemahkan sebagai ilalang atau belalang dalam bahasa jawa. Selanjutnya adalah pos Pondok Cemara yang dikaitkan dengan jenis pohon cemara atau pinus.
Mendaki ke atas dari Pos Pondok Cemara selanjutnya pendaki akan tiba di Pos Samarantu. Berdasarkan hasil wawancara, asal mula nama samarantu berasal dari nama tumbuhan samarantu, yang menurut masyarakat lokal Dusun Bambangan adalah nama lain dari pohon dengan ciri bentuk pohonnya pendek dan memiliki batang kecil. Dalam observasi lapangan di sekitar Pos Samarantu, kami menjumpai pohon dengan ciri-ciri seperti yang disampaikan oleh narasumber, yaitu bentuk pohon rendah dan berbatang kecil hingga sedang seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini.

Keluar dari wilayah hutan mendekati wilayah puncak, terdapat Pos Samyang Jampang. Nama Jampang menurut penjelasan ciri-cirinya diduga kuat merupakan nama lain dari Pohon Cantigi (Vaccinium varingiaefolium). Tanaman pionir ini (baca : tumbuhan pionir di kepundan gunung ciremai) dapat di temui di seluruh pulau Jawa pada ketinggian antara 1500-3300 mdpl (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1965), memiliki daun yang tebal dan kecil-kecil, dengan warna hijau, merah dan ungu, serta batangnya merah kecokelatan. Buahnya berwarna hitam dan berbentuk bulat seperti beri. Pohonnya tumbuh berupa pohon kecil atau semak bercabang-cabang dengan satu batang. Bunganya seperti bunga anggrek berwarna meran dan ukuran bunga cantigi yang ada di pegunungan lebih besar dibandingkan bunga cantigi yang ada di pantai. Pada pos Samyang Jampang mulai banyak ditemukan vegetasi cantigi.
Diantara nama-nama pos yang terdapat pada Jalur Pendakian Bambangan, Pos Samarantu termasuk yang paling terkenal di kalangan pendaki. Hal ini tidak lepas dari banyaknya keterangan yang mengkaitkan nama samarantu dengan kata “Samar” dan “Antu/Hantu” atau “Samar-samar Berhantu”. Ada pula yang menyebut “hantu yang samar-samar”. Keterangan ini cukup populer di kalangan pendaki apalagi Gunung Slamet termasuk gunung yang banyak dikaitkan dengan berbagai cerita mistis. Keterangan ini sangat mungkin berkaitan dengan berkembangnya isu mistis, selain itu dapat pula anggapan mengenai samar-hantu yang diberikan para pendaki tersebut dikarenakan pada pos ini banyak pendaki mengalami hypothermia dan penyakit ketinggian (AMS), demikian menurut keterangan tim SAR yang bertugas di Pos Pendakian Bambangan.
Tim TAJSEM saat memperoleh keterangan dari anggota SAR Purbalingga yang bertugas di base camp bambangan
Berdasarkan pengamatan aspek fisik yang dilakukan oleh tim di lapangan, pohon-pohon pada pos samarantu memiliki kanopi yang mulai terbuka, tidak seperti pada  pos-pos sebelumnya yang memiliki kanopi tertutup dan rapat dengan pepohonan yang besar. Kemudian lokasi pos tersebut terletak pada posisi igir pegunungan, sehingga angin yang bertiup pada pos tersebut khususnya pada malam hari langsung mengenai tempat-tempat mendirikan tenda tanpa terhalang oleh kanopi dan pepohonan besar. Diduga inilah alasan mengapa pada pos tersebut sering terdapat pendaki yang mengalami kecelakaan dalam pendakian baik mengalami hypothermia, AMS, dan lainnya.
Informasi mengenai nama-nama vegetasi yang digunakan sebagai nama pos di Jalur Pendakian Bambangan ini cukup menarik, apalagi tim ekspedisi TAJSEM juga bertugas mengamati kondisi vegetasi. Dalam konsep yang telah kami pelajari persebaran jenis tumbuhan tertentu sangat ditentukan oleh iklim (suhu dan curah hujan) yang berkaitan dengan ketinggian suatu daerah, bahan induk tanah, serta tingkat perkembangan tanah. Berdasarkan konsep tersebut, perbedaan ketinggian akan mempengaruhi variasi vegetasi baik jenis maupun ukurannya dengan gejala semakin ke atas vegetasi yang dijumpai semakin kecil.




TOPONIMI POS PENDAKIAN GUNUNG SLAMET JALUR BAMBANGAN. SAMARANTU, BUKAN SEKEDAR SAMAR-HANTU (catatan summiter dari lapangan)

Read More

Jumat, 29 Juli 2016


Infografis : Tumbuhan Pionir di Kepundan Gunung Ciremai

Read More

Selasa, 26 Juli 2016



Dalam misi mencapai puncak ke dua dari rangkaian pendakian Triarga Jawadwipa di Gunung Ciremai, tim Ekspedisi Tajsem 2016 juga mendapatkan tugas untuk melakukan pengamatan mengenai kondisi biogeomorfologi di Gunung Ciremai. Pokok pengamatan biogeomorfologi adalah melihat bagaimana bentuklahan mempengaruhi perkembangan dan distribusi vegetasi dan juga sebaliknya vegetasi mempengaruhi bentuklahan, dalam hal ini khususnya pada bentanglahan vulkanik. Secara garis besar diperoleh hasil bahwa setiap bentuklahan (landform) di Gunung Ciremai dengan material penyusun yang bervariasi, kondisi iklim yang bervariasi oleh pengaruh ketinggian tempat, terkena pengaruh langsung atau tidak dari aktivitas vulkanik pada saat ini, ternyata memiliki karakteristik vegetasi yang berbeda pula. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pola distribusi vegetasi berkaitan dengan karakteristik bentuklahan tempat berkembangnya jenis vegetasi tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terdapat kondisi biogeomorfologi yang unik di pada bentuklahan kepundan gunungapi (bibir kawah yang juga merupakan puncak dari pendakian Gunung Ciremai), yaitu terdapatnya beberapa jenis tumbuhan perintis antara lain cantigi gunung (Vaccinium varingiaefolium) dan edelweiss (Anaphalis javanica). Van Steenis (2010) dalam bukunya Flora Pegunungan Jawa, menjelaskan bahwa terdapat jenis tumbuhan tertentu yang dapat bertahan hidup dalam lingkungan vulkan aktif, dalam hal ini di sekitar kawah dan endapan lava di puncak vulkan. Pada sekitar kepundan yang memiliki keasaman tinggi, penciuman manusia sangat peka terhadap gas belerang hingga jarak 1 km, namun demikian kondisi ini masih cukup lemah untuk merusak vegetasi, sehingga vegetasi masih dapat hidup. Terdapat jenis tumbuhan pionir yang sangat kerdil dan tumbuh merunduk, khususnya pada lokasi-lokasi yang terlindung dari angin dan gas beracun.
Lebih lanjut menurut Van Steenis, di sekitar kepundan umumya dijumpai vegetasi Vaccinium varingiaefolium, Rhododendrom retusum, dan paku Selliguea feei, kadang-kadang disertai lumut. Apabila kawah tidak aktif lagi maka vegetasi pionir akan menyelinap masuk yang kemudian dapat berkembang menjadi hutan elfin cantigi, sementara itu pada kawah aktif semburan gas dapat memusnahkan vegetasi yang baru terbentuk. Vegetasi yang dijumpai adalah yang mampu bertoleransi dengan kondisi tersebut. Hanya beberapa spesies yang mampu bertahan dan semakin ke arah kawah vegetasi semakin sedikit, semakin kurus, dan semakin kecil.

kenampakan puncak Gunung Ciremai dan vegetasi-vegetasi pioner yang tumbuh
kenampakan kawah Gunung Ciremai

Vegetasi yang tumbuh di sekitar kawah Gunung Ciremai

TUMBUHAN PIONIR DI KEPUNDAN GUNUNG CIREMAI

Read More

Jumat, 22 Juli 2016


Jawa adalah pulau yang banyak memiliki gunung-gunung tinggi. Sebagian besar diantaranya adalah gunungapi (vulkan) yang aktif. Van Bemmelen (1949) dalam bukunya The Geology of Indonesia, dan Neumann Van Padang (1983) dalam History of the Volcanology in the Former Netherlands East Indies menjelaskan terdapat 35 gunungapi aktif di Pulau Jawa. Sementara itu Verstappen (2013) dalam bukunya Garis Besar Geomorfologi Indonesia menjelaskan lebih lanjut bahwa diantara vulkan-vulkan aktif Pulau Jawa, 23 diantaranya termasuk dalam tipe A. Gunungapi di Pulau Jawa beberapa diantaranya menjulang tinggi hingga mencapai 3.000-an meter diatas permukaan laut. Menurut catatan Verstappen, terdapat empat belas gunungapi di Indonesia yang mempunyai ketinggian lebih dari 3.000 mdpal, 10 diantaranya terdapat di Pulau Jawa, 4 lainnya adalah Gunung Kerinci dan Dempo (Sumatra), Gunung Agung (Bali), dan Gunung Rinjani (Lombok).
Pemandangan Gunung Ciremai dari base camp Palutungan, Kabupaten Kuningan
(Dok. MPA Mahameru, 2016)

Kedudukan Pulau Jawa yang berada pada zona subduksi antara lempeng Asia Tenggara dengan Lempeng Eurasia menyebabkan tingkat vulkanisme tinggi. Vulkanisme inilah yang menyebabkan Pulau Jawa memiliki relief kasar dengan gunung-gunung tinggi. Pannekoek (1949) menjelaskan bahwa dengan vulkanisme yang aktif ini, Pulau Jawa dapat mempertahankan reliefnya dari proses denudasi yang cepat dan kuat akibat pengaruh iklim tropis dengan temperatur udara dan curah hujan tinggi. Apabila kita membuat daftar 15 puncak tertinggi di Pulau Jawa, maka seluruhnya akan kita jumpai berada pada ketinggian di atas 2.600 mdpal, yaitu sebagai berikut:
1.      Gunung Semeru, Jawa Timur (3676 mdpal)
2.      Gunung Slamet, Jawa Tengah (3428 mdpal)
3.      Gunung Sumbing, Jawa Tengah (3371 mdpal)
4.      Gunung Arjuno-Welirang, Jawa Timur (Puncak Arjuno 3339 mdpal, Puncak Welirang 3156 mdpal)*
5.      Gunung Raung, Jawa Timur (3332 mdpal)
6.      Gunung Lawu, Jawa Tengah-Jawa Timur (3265 mdpal)
7.      Gunung Sindoro, Jawa Tengah (3153 mdpal)
8.      Gunung Merbabu, Jawa Tengah (3142 mdpal)
9.      Gunung Argopuro, Jawa Timur (3088 mdpal)
10.   Gunung Ciremai, Jawa Barat (3078 mdpal)
11.   Gunung Gede-Pangrango, Jawa Barat (Puncak Pangrango 3019 mdpal, Puncak Gede 2958 mdpal)*
12.   Gunung Merapi, Jawa Tengah-DIY (2911 mdpal)
13.   Gunung Cikuray, Jawa Barat (2818 mdpal)
14.   Gunung Papandayan, Jawa Barat (2665 mdpal)
15.   Gunung Kawi, Jawa Timur (2651 mdpal)
Catatan (*) dua gunung letaknya berhimpitan sehingga satuan morfologi kaki gunungapi dan dataran kaki gunungapi beserta tekuk lerengnya absen di beberapa bagian.


Dalam konsep Triarga Jawadwipa yang diajukan MPA Mahameru melalui ekspedisi TAJSEM 2016, dengan mengacu pada pembagian geomorfologi Pulau Jawa menurut Pannekoek (1949), terdapat tiga puncak tertinggi di tiga wilayah geomorfologi Pulau Jawa yaitu Puncak Semeru (3676 mdpal) sebagai puncak tertinggi di Jawa Bagian Timur, Puncak Slamet (3428 mdpal) sebagai puncak tertinggi di Jawa Bagian Tengah, dan Puncak Ciremai (3078 mdpal) sebagai puncak tertinggi di Jawa Bagian Barat. Dilihat dari kedudukannya, Gunung Slamet dan Gunung Ciremai secara kebetulan terletak berdekatan tanpa dipisahkan oleh gunung lain.
Sebagai gunung “bertetangga” yang letaknya berdekatan, kedua gunung ini memiliki beberapa kemiripan khususnya pada karakteristik fisik yang dipengaruhi oleh kondisi iklim. Kedua gunung ini berada di daerah dengan curah hujan relatif tinggi di Jawa Bagian Barat karena dipengaruhi oleh monsun yang bergerak dari barat akibat pengaruh gaya coriolis ketika memasuki Kepulauan Indonesia. 
Karakteristik hutan gunung Slamet (kiri) dan gunung Ciremai (kanan)
Doc. MPA Mahameru 2016
Dengan curah hujan tinggi kedua gunung ini memiliki vegetasi yang beragam. Pada zona sub pegunungan dengan ketinggian dibawah 2000 mdpal terdapat vegetasi hutan tertutup berbatang pohon tinggi dengan sedikit lumut. Pada zona pegunungan dengan ketinggian 2000-2500 terdapat jenis vegetasi hutan berbatang pohon tinggi dengan diameter batang semakin kecil dan lumut semakin banyak. Pada zona sub alpin diatas ketinggian 2500 mdpal terdapat vegetasi hutan rendah berlumut yang termasuk ke dalam kategori hutan elfin.
Curah hujan tinggi juga berpengaruh terhadap proses geomorfologi terutama pelapukan dan erosi. Pelapukan berlangsung dalam bentuk dekomposisi secara intensif dibawah pengaruh suhu udara dan curah hujan tinggi. Hasil pelapukan kemudian berkembang menjadi tanah yang di beberapa bagian mengalami erosi akibat aliran permukaan.
erosi pada gunung Slamet (kiri) dan pada gunung Ciremai (kanan)
Doc. MPA Mahameru 2016
Tipe erosi yang dijumpai bervariasi antara erosi lembar hingga erosi parit. Jenis vegetasi yang terdapat di dalam hutan juga berpengaruh terhadap perkembangan tanah, namun untuk memperoleh keterangan lebih lengkap perlu dengan kajian lebih mendalam. 
Sebagai vulkan aktif, kedua vulkan ini juga memiliki kesamaan dari segi bentuklahan. Secara umum bentuklahan yang dijumpai meliputi kepundan, kerucut gunungapi, lereng gunungapi, kaki gunungapi, dan dataran kaki gunungapi. Kepundan merupakan fasies sentral sebagai pusat aktivitas vulkan, di kedua gunung ditandai dengan kawah yang luas dan dalam.
Kawah gunung Ciremai (Doc. MPA Mahameru 2016)
Bagian atas merupakan fasies piroksimal terbentuk dari material lava, bagian tengah merupakan fasies medial terbentuk dari material piroklastik, sedangkan bagian bawah merupakan fasies distal yang terbentuk dari material lahar. Namun demikian walaupun memiliki banyak kesamaan, terdapat pula kekhasan pada kedua gunung ini yang selengkapnya akan dideskripsikan pada laporan perjalanan lapangan mendatang.






DUA GUNUNG BERTETANGGA: SLAMET DAN CIREMAI

Read More

Rabu, 20 Juli 2016





“Persahabatan sangat diperlukan dalam hidup, karena tanpa sahabat hidup terasa hambar, walaupun kita memiliki kekayaan dan kemasyhuran” -- Aristotle

Jika ada hal yang membuat pendakian puncak kedua Tim TAJSEM di Gunung Ciremai menjadi istimewa, maka tentu salah satunya adalah kebersamaan dengan tim PA Raksa Buana dan Sispala Prima dalam ekspedisi ini. Sejak awal pendakian kedua ini memang direncanakan untuk mendapatkan dukungan eksternal yang lebih banyak, khususnya dari organisasi pecinta alam yang selama ini telah banyak bekerjasama dengan MPA Mahameru. Harapannya tentu saja adalah memperkuat tali silaturahmi, membangun kerjasama yang berkelanjutan, serta promosi program TAJSEM 2016 dan sirkuit pendakian triarga (Ciremai, Slamet, Semeru) secara lebih luas.
Bak gayung bersambut, ternyata kawan-kawan yang dihubungi untuk pendakian bersama ini tidak kalah antusiasnya. PA Raksa Buana yang akhirnya berperan sebagai tuan rumah memberikan sambutan yang hangat semua komponen terlibat baik guru pembina, siswa, maupun alumni, dengan rombongan yang cukup besar. Sambutan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh kami para tamu, MPA Mahameru dan Sispala Prima dari OKU Timur, Provinsi  Sumatera Selatan. Namun keseruan dalam kebersamaan di Gunung Ciremai belumlah berakhir sampai disitu.
Pendakian Ciremai barulah dimulai namun ujian sudah harus dihadapi, medan landai dari base camp menuju pos 1 cukup jauh tanpa ada pos bayangan. Muncul rasa jemu di perjalanan yang lama-kelamaan membuat mental pendaki tertekan, dampaknya tentu saja stamina ikut terkuras. Pada akhirnya setelah melawan kejemuan rombongan sampai juga di pos 1, cigowong, tapi dalam kondisi lelah mental dan fisik. Dalam situasi ini seorang pendaki butuh suntikan semangat baru, sesuatu yang berbau kejutan menyenangkan misalnya.
Cigowong adalah kawasan hutan yang berada di kaki Gunungapi Ciremai yang difungsikan sebagai pos 1 Pendakian Ciremai. Tempatnya lapang dan relatif datar. Namun daya tarik utamanya sebenarnya adalah keberadaan mataair cukup besar yang bisa dimanfaatkan untuk refill botol para pendaki. Semua tentu sudah paham, selepas ini jalur pendakian akan semakin liar tanpa ada sumber air lagi. Jadi di sinilah dan di waktu inilah recovery tenaga dan moral pendaki harus dilakukan.


Setelah istirahat agak lama dan sholat berjamaah, entah siapa yang memulai tiba-tiba matras dibentangkan. Lalu di atas matras bungkusan nasi dan ketupat dihidangkan, ada lauk, ada sayur kering, ada pula garam untuk menambah cita rasa. Ternyata sang tuan rumah menyiapkan pesta kecil pembangkit semangat pendakian. Tentu saja bagi kami ini kejutan baik. Kebetulan perut sedang lapar, semangat juga sedang menurun, acara makan bersama mencairkan kembali suasana yang sempat beku oleh rasa jemu dalam perjalanan tadi.




Acara makan bersama di hutan cigowong dalam pendakian TAJSEM di Gunung Ciremai ini bukan hanya sekedar acara makan-makan, tapi lebih dari itu, ada nuansa kebersamaan, jalinan persahabatan yang tulus dan menyenangkan, dan semuanya membaur dari manapun asal kelompoknya. Acara menyenangkan yang membangkitkan kembali semangat pendakian, dan juga semangat kebersamaan dalam kegiatan lain di masa mendatang. Semoga...




JAMUAN MAKAN SIANG DI HUTAN CIGOWONG

Read More

Copyright © 2014 TAJSEM 2016 | Designed With By Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates
Scroll To Top