Sabtu, 07 Mei 2016

The Targets - TAJSEM 2016

Target yang ingin dicapai dari program TAJSEM 2016 adalah melakukan ekspedisi pendakian ke tiga puncak di tiga wilayah Pulau Jawa yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pembagian tiga wilayah ini mengacu pada pembagian geomorfologi Pulau Jawa (bukan provinsi) oleh A.J. Pannekoek (1949) yaitu Jawa Barat yang terletak diantara ujung barat Pulau Jawa hingga garis khayal yang menghubungkan Cirebon dengan Pangandaran, Jawa Tengah diantara garis khayal Cirebon-Pangandaran hingga garis khayal yang menghubungkan Semarang dengan Parangtritis, dan Jawa Timur diantara garis khayal Semarang-Parangtritis hingga ujung timur Pulau Jawa di Semenanjung Blambangan.
Berdasarkan pembagian wilayah tersebut diketahui gunung dengan puncak tertinggi yang terdapat pada masing-masing wilayah, yaitu Gunung Ciremai (3078 mdpal) di Jawa Barat, Gunung Slamet (3428 mdpal) di Jawa Tengah, dan Gunung Semeru (3676 mdpal) di Jawa Timur. Gunung Semeru dan Gunung Slamet sekaligus merupakan dua gunung yang tertinggi di Pulau Jawa. Ketiga gunung ini sangat unik apabila dilihat dari lokasi dan kondisi iklimnya. Gunung Ciremai didominasi oleh hutan hujan tropis karena berada di daerah curah hujan tinggi Jawa Barat dan sekaligus terletak di dekat pesisir utara Pulau Jawa. Gunung Slamet masih didominasi oleh hutan hujan tropis namun terletak agak ke pedalaman Pulau Jawa. Sedangkan Gunung Semeru terletak pada wilayah dengan curah hujan yang cenderung lebih rendah sehingga selain hutan juga berkembang sabana secara luas di wilayahnya.
Gunung Ciremai apabila diperhatikan dari letaknya merupakan gunung yang cukup unik, karena di wilayah utara Pulau Jawa, khususnya di Jawa Barat, sangat jarang dijumpai vulkan strato yang tinggi seperti Ciremai. Pannekoek (1949) menyebutkan bahwa Gunungapi Ciremai merupakan soliter vulcano yang terpisah dari gunungapi lainnya di zona utara Jawa Barat. Endapan vulkaniknya menutupi sebagian besar batuan lipatan yang mendasarinya. Aliran vulkaniknya meluas di atas dataran pantai dan hampir mencapai tepi pantai dekat Cirebon. Gunung Ciremai merupakan vulkan aktif Tipe A dengan letusan terakhir diketahui pada tahun 1951 (http://volcano.si.edu). Van Bemmelen (1949) mencatat vulkan ini pernah meletus tahun 1939/1941. Sementara itu Van Padang (1983) menjelaskan bahwa vulkan ini juga pernah meletus tahun 1772 dan 1805. Pada Bulan Agustus 1837 Junghuhn mencapai Puncak Gunung Ciremai dan menjumpai kawah dengan kedalaman mencapai 90 meter, terbagi ke menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh dinding berbatu sehingga membentuk kawah kembar. Erupsi pada tahun 1805 menghancurkan vegetasi hingga jarak 90 meter di bawah dinding kawah.
Kawah Gunung Ciremai (Dok. MPA Mahameru, 2005)

Badan Geologi (2014) menjelaskan riwayat erupsi Gunung Ciremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937 dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga erupsi 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Erupsi uap belerang serta tembusan fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi tahun 1917 dan 1924. Pada 24 Juni 1937 - 7 Januari 1938 terjadi erupsi freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar. Gunung Ciremai telah beristirahat selama sekitar 61 tahun dan selang waktu tersebut belum melampaui waktu istirahat terpanjang. Pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah baratdaya Gunung Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara - baratlaut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah barat Gunung Ciremai tahun 1990 dan tahun 2001. Getarannya terasa hingga desa Cilimus di timur Gunung Ciremai. Fenomena yg berlainan terjadi pada November-Desember 2003, peningkatan kegempaan vulkanik dan tektonik diikuti dengan perubahan suhu mata air panas di Sangkan Hurip, suhu rata-rata 47-48°C naik menjadi 49,4°C. Sedangkan mata air panas di Cilengkrang dari 50° C menjadi 55,5°C, serta ada indikasi peningkatan aktivitas di kawah Telaga dengan munculnya lapangan solfatara baru di bibir kawah utama. Lebih lanjut menurut Badan Geologi (2014) karakter erupsi Gunung Ciremai adalah berupa erupsi ekplosif bersekala menengah (dimanifestasikan oleh sejumlah endapan aliran dan jatuhan piroklastik). Secara berangsur kekuatan erupsi melemah dan cenderung menghasilkan erupsi magmatik.

Gunung Slamet adalah salah satu vulkan aktif di Pulau Jawa. Puncaknya menjulang setinggi 3.428 mdpal dan merupakan puncak tertinggi di Jawa Tengah atau tertinggi ke dua di Pulau Jawa setelah Puncak Mahameru (3.676 mdpal) di Gunung Semeru, Jawa Timur. Puncak berupa igir sempit yang mengelilingi kaldera lautan pasir hasil beberapa periode letusan dalam kurun waktu yang sangat lama. Bagian tertingginya berada pada koordinat 70 14’ 30” LS dan 1090 12’ 30” BT.
Sebagai gunungapi aktif, Slamet telah mengalami beberapa kali letusan. Menurut PVMBG letusan pertama yang tercatat dalam sejarah dimulai pada tahun 1772, letusan terbaru terjadi pada tahun 1992 kemudian terjadi kembali letusan pada tahun 2009-2010. Masa istirahat terpendek adalah satu tahun sedangkan yang terpanjang 53 tahun. Sebagai gunungapi aktif yang masuk dalam Tipe A, Gunung Slamet berada pada daerah berpenduduk padat, bahkan wilayahnya cukup luas karena meliputi lima kabupaten yaitu Purbalingga, Pemalang, Tegal, Brebes, dan Banyumas. Pada tanggal 20-26 Mei 2015 kembali terjadi peningkatan aktivitas di sekitar kawah Gunung Slamet yang ditandai oleh gempa tremor (http://volcano.si.edu). Peningkatan aktivitas bahkan telah berlangsung sejak tahun 2014. Laporan badan geologi menunjukkan bahwa Pada tanggal 10 Maret 2014 tingkat aktivitas Gunung Slamet dinaikan dari Level I (Normal) menjadi Level II (Waspada). Kemudian pada tanggal 30 April 2014 tingkat aktivitas Gunung Slamet dinaikan dari Level II (Waspada) menjadi Level III (Siaga) dan tanggal 12 Mei 2014 diturunkan kembali menjadi Level II (Waspada). Tanggal 12 Agustus 2014 tingkat aktivitas Gunung Slamet dinaikan dari Level II (Waspada) menjadi Level III (Siaga), dan tanggal 5 Januari 2015 tingkat aktivitas Gunung Slamet di turunkan menjadi Level II (Waspada).
Gunungapi Slamet termasuk ke dalam tipe gunungapi strato, yaitu berbentuk menyerupai kerucut. Secara geomorfologi biasanya gunungapi strato terbagi menjadi beberapa bagian yaitu: kepundan (kawah) sebagai pusat aktivitas vulkanisme, kerucut vulkan (bingkai sisi luar kawah) yang curam, lereng gunungapi (bisa dibedakan menjadi lereng atas, tengah, dan bawah), dan dataran kaki gunungapi. Semakin mendekati kepundan lerengnya semakin curam sementara semakin menuju kaki gunungapi semakin landai. Jadi, kerucut gunungapi strato walaupun seringkali nampak sebagai satu tubuh gunungapi saja, sebenarnya terdiri dari beberapa segmen yang dapat dibedakan berdasarkan tingkat kecuraman lerengnya. Masing-masing segmen tersebut dibatasi oleh takik lereng (tekuk lereng) yaitu ketika terjadi perubahan kemiringan secara tegas. Apabila kita melakukan pendakian, seringkali pada awal pendakian kita menjumpai lereng yang landai kemudian semakin lama semakin curam dan ketika mendekati puncak kemiringan lerengnya menjadi sangat curam. Hal ini merupakan ciri dari gunungapi strato. Mengapa dapat terjadi bentuk seperti demikian? Bentuk yang terjadi tidak terlepas dari proses pembentukan gunungapi itu sendiri. Pada gunungapi strato biasanya terjadi letusan secara eksplosif dan efusif secara berselang-seling, materialnya juga berselang-seling antara material piroklastik dan lava. Material yang berat dan kental diendapkan dekat kepundan sehingga menghasilkan lereng yang curam, sedangkan material yang halus diendapkan lebih jauh sehingga membentuk lereng yang landai. Proses selang-seling ini nampak seperti peristiwa penumpukan material secara bertingkat, oleh karena itu hasilnya dinamakan gunungapi strato (bertingkat).

10
 
Bagaimana dengan kondisi geomorfologi Gunungapi Slamet? Martopo (1984) menjelaskan bahwa Gunung Slamet dibedakan menjadi; (a) bagian yang tua yaitu bagian barat yang mengalami gangguan tektonik, (b) kerucut muda yang terletak di sebelah timurnya, dan (c) beberapa tempat erupsi yang kecil pada lereng timurnya. Gunungapi Slamet dengan ketinggian 3.428 mdpal adalah gunung tertinggi di Jawa Tengah. Secara morfologi Gunungapi Slamet dibedakan menjadi lima bagian yaitu lereng atas yang tertutup oleh medan lava, breksi fluvial, breksi piroklastik, dan debu vulkanik; lereng tengah yang tertutup oleh breksi fluvio vulkanik, lava, aglomerat, dan debu dengan material hasil pelapukan; lereng bawah dan lerengkaki yang tertutup oleh breksi fluviovulkanik, lahar, deposit aliran rombakan (debris), dan deposit aliran sungai serta material hasil pelapukan; dan bagian Gunung Slamet tua dengan breksi fluvial pleistosen, lempung, breksi, dan lempung tidak terstruktur
Kawah dan hamparan pasir di Puncak Gunung Slamet (Dok. MPA Mahameru, 2012)
Medan berbatu di Plawangan Gunung Slamet (Dok. MPA Mahameru, 2012)

Gunung Semeru termasuk gunung yang paling banyak diminati untuk pendakian. Selain karena reputasinya sebagai gunung tertinggi di Pulau Jawa, Semeru juga memiliki panorama yang sangat indah dengan kondisi medan yang bervariasi sejak titik awal pendakian hingga Puncak Mahameru. Semeru termasuk ke dalam tipe gunungapi yang sangat aktif, terletak pada kompleks Pegunungan Tengger. Pannekoek (1949) menjelaskan bahwa Kompleks Tengger terdiri dari beberapa struktur vulkanik yang lebih tua dan kerucut yang lebih muda. Bagian paling tua dan merupakan generasi pertama adalah igir Pegunungan Jambangan yang terletak antara Tengger dan Semeru. Yang kedua ujung paling timur dari kompleks pegunungan dan yang terakhir adalah igir memanjang dengan arah barat laut yang telah terpotong oleh suatu celah sedang bagian yang berhadapan nampaknya telah hilang. Badan Geologi (2014) menjelaskan, morfologi Gunung Semeru memperlihatkan bentuk kerucut yang sempurna jika dilihat dari arah selatan dan tenggara, namun sesungguhnya bentuknya tidak sempurna betul karena dibagian puncak mempunyai bentuk yang rumit. Kondisi puncak ini disebabkan oleh perpindahan kawah-kawahnya dari baratlaut ke tenggara. Mahameru ( 3676m) merupakan dinding tubuh kawah tua di bagian utara, sedangkan bagian yang muda berkembang ke arah tenggara dan selatan. Morfologi komplek Gunung Semeru- Jambangan dibentuk oleh Gunungapi Kuarter tua dicirikan oleh bentuk morfologi yang telah mengalami denudasi, pola aliran sungai yang kasar dan lembah yang dalam serta terdapatnya sisa dinding kaldera di daerah puncaknya. Morfologi yang lebih muda terdiri dari puncak dan tubuh Gunung Mahameru dan Gunung Semeru. Kerucut parasit diantaranya Gunung Papak dan Gunung Leker yang terletak di lereng timur Gunung Semeru.
Van Bemmelen (1949) menjelaskan bahwa Gunung Semeru termasuk dalam golongan vulkan aktif tipe A yang memiliki karakteristik yang unik yaitu periode aktif dan periode dorman berselang seling dengan rentang waktu masing-masing periode relatif sama. Catatan sejak tahun 1818 hingga 1946 menunjukkan bahwa terdapat: (1) periode dorman 11 tahun (1818-1829), (2) periode aktif 20 tahun (1829-1848), (3) periode dorman 8 tahun (1848-1856), (4) periode aktif 9 tahun (1856-1865), (5) periode dorman 7 tahun (1865-1872), (6) periode aktif 7 tahun *1872-1879), (7) periode dorman 6 tahun (1879-1885), (8) periode aktif 28 tahun (1885-1913), (9) periode dorman 28 tahun (1913-1941), (10) periode aktif sejak 1941-1946 dan seterusnya. Van Padang (1983) mencatat bahwa aktivitas vulkanik Semeru salah satunya dicirikan oleh aliran lahar yang banyak terjadi walaupun gunung ini tidak memiliki danau kawah.
Badan Geologi (2014) memberikan keterangan lengkap mengenai erupsi Gunung Semeru setelah catatan Van Bemmelen pada tahun 1946 yaitu setelah tahun 1946 hingga 2008 setidaknya telah terjadi 38 kali aktivitas vulkanik di Gunung Semeru. Aktifitas Gunung Semeru tedapat di Kawah Jonggring Seloko yang terletak di sebelah tenggara puncak Mahameru. Letusan Gunung Semeru umumnya letusan abu bertipe vulkanian dan strombolian yang terjadi 3-4 kali setiap jam. Letusan tipe vulkanian dicirikan dengan letusan eksplosif yang kadang-kadang menghancurkan kubah dan lidah lava yang telah terbentuk sebelumnya. Selanjutnya terjadi letusan bertipe strombolian yang biasanya diikuti dengan pembentukan kubah dan lidah lava baru. Pada saat terjadi letusan eksplosif biasanya dikuti oleh terjadinya aliran awan panas yang mengalir ke lembah-lembah yang lebih rendah dan arah alirannya sesuai dengan bukaan kawah dan lembah-lembah di Gunung Semeru. Arah bukaan kawah Gunung Semeru saat ini mengarah ke arah tenggara atau mengarah ke hulu Besuk Kembar, Besuk Bang, Besuk Kobokan.

Ranu Kumbolo, Gunung Semeru (Dok. MPA Mahameru, 2008)
Gunung Semeru dilihat dari sekitar Kawasan Waturejeng (Dok. MPA Mahameru, 2008)



Letusan dari Kawah Jonggring Saloka (Dok. MPA Mahameru, 2008)



0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 TAJSEM 2016 | Designed With By Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates
Scroll To Top